JMDN logo

Di Balik Gowes Rutin

📍 Olahraga
4 Juli 2025
3 views
Di Balik Gowes Rutin

Jakarta, 04/7 (ANTARA) - Patricia Lisia tampak elegan mengenakan busana semi cheongsam midi berwarna merah dan kuning dipadukan dengan sepatu pantofel berhak rendah. Namun, penampilan femininnya itu seketika terkesan bergaya sporty saat ia mengenakan helm dan mengayuh sepedanya melintasi trotoar kawasan Pasar Baru.


Ya, sore itu, sepedanya berhenti tepat di depan Gedung ANTARA Heritage, tempat ia dijadwalkan mengisi sebuah siniar atas konsistensi dirinya yang telah dua dekade menjadi pelaku bike to work atau bersepeda ke kantor.


Tim Podcast ANTARA Close Up, sengaja mengundang perempuan 49 tahun itu lantaran dapat menginspirasi para pendengar agar turut berperilaku hidup sehat, hemat, dan berkontribusi terhadap lingkungan bebas asap kendaraan dengan bersepeda seperti dirinya.


Wanita yang akrab disapa Ci Pat itu telah mengayuh sepeda sejak tahun 2006, jauh sebelum tren bike to work menjadi pembicaraan di media sosial.


Tak seperti stereotip pesepeda yang menggunakan jersey olahraga dan sepatu khusus, Ci Pat justru kerap bersepeda dengan pakaian kerja lengkap termasuk rok dan sepatu pantofel berhak, yang menurutnya praktis dan tidak perlu repot membawa pakaian ganti.


“Saya orangnya simple, malas ganti baju dan bawa banyak barang. Jadi ya langsung berangkat pakai baju kerja,” ujar Patricia, yang kini bekerja di Otoritas Jasa Keuangan.


Awalnya, ia bersepeda karena lelahnya menghadapi kemacetan yang terjadi di Jakarta. Bukan hanya itu, ia juga kerap disibukkan dengan memarkirkan kendaraannya di luar gedung tempatnya bekerja lantaran sering kali penuh.


Dari pengalaman itulah, ia berinisiatif memanfaatkan sepeda dengan jenama lokal asal Indonesia. Apalagi, jaraknya dari rumah ke kantornya yang ada di jalan M.H thamrin itu kurang dari 5 km. Selain waktu tempuh yang lebih pasti dan kemudahan parkir pun menjadi privilege tersendiri bagi para pesepeda.


“Awalnya karena macet, parkiran kantor penuh, dan jarak rumah ke kantor saya juga tidak terlalu jauh,” kata ibu anak tiga tersebut.


Berbicara tentang gaya hidup, terutama jika dikaitkan dengan masyarakat urban Jakarta di tengah hiruk-pikuk kota besar, tentu relevansinya erat dengan dua hal, yaitu kecepatan dan konsumsi.


Mobilitas tinggi yang menuntut efisiensi, tapi justru sering kali menguras dompet. Biaya bensin, parkir, tol, hingga perawatan kendaraan pribadi menjadi beban rutin yang kerap dianggap wajar. Belum lagi waktu yang habis akibat terjebak macet, secara perlahan mencuri kualitas hidup.


Inilah mengapa gaya hidup bersepeda seperti yang dijalani Patricia Lisia pun jadi terasa pas di tengah kebutuhan hidup kota besar yang semakin mahal.


“Kalau dihitung, saya bisa menghemat lebih dari Rp 2.000.000 per bulan hanya dengan tidak pakai kendaraan bermotor ke kantor,” ungkap pegiat B2W yang kini menjadi Ultracyclist tersebut.


Ia menyebut, selain ongkos, ada banyak keuntungan tak kasat mata yang didapatkan dengan membiasakan diri bersepeda ke manapun. Tubuhnya menjadi lebih bugar, stres berkurang, dan waktu tempuh yang lebih bisa diprediksi.


Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa pengeluaran transportasi rumah tangga di kota besar seperti Jakarta bisa mencapai 15-20 persen dari total belanja bulanan. Sementara itu, bersepeda hanya membutuhkan biaya awal untuk membeli sepeda dan perlengkapannya. Setelah itu, perawatannya relatif murah dan sepeda bisa digunakan selama bertahun-tahun.


Ketika ditanya soal persiapan bike to work bagi pemula, jawabannya hanyalah “mulai aja dulu” sebab menurutnya tantangan terbesar yaitu melawan rasa malas. Apalagi, setelah sering kali menikmati kemudahan-kemudahan yang ditawarkan selama menjalani kehidupan di kota besar seperti Jakarta, termasuk kehadiran ojek daring yang membuatnya serba lebih mudah dan cukup ekonomis di kantong.


“Sebenarnya tidak perlu membawa perlengkapan khusus selama bike to work, karena biasanya kita bisa mengakalinya, dari mulai membawa handuk, membawa baju ganti, hingga jas hujan, itu nggak perlu dipikirin, mulai aja dulu,” katanya lugas.


Bahkan, saat di hari libur pun, justru menjadi momen untuk Ci Pat menambah jam bersepeda, menjelajah rute-rute baru, seperti Sentul dan Puncak yang menjadi favoritnya.


“Kalau libur biasanya saya nggak mau diam, saya me time dengan melatih endurance ke Puncak, bisa juga lanjut ke Cianjur, lalu nanjak lagi,” kata pesepeda jarak jauh itu.


Menariknya, gaya hidup bersepeda tidak hanya dilakukan Ci Pat di Jakarta. Di sejumlah daerah lain, terutama saat musim liburan sekolah tiba, anak-anak pun ramai memanfaatkan waktu luang dengan bermain sepeda.


Di Serang, Banten, misalnya, permainan sepeda menjadi kegiatan yang rutin dilakukan hampir setiap hari, terutama saat anak-anak mengawali hari di pagi ataupun saat bermain sore hari.


Salah satunya Chevindio (7) yang menjadi contoh bagaimana budaya bersepeda bisa ditanamkan sejak dini. Setiap hari, ia ke sekolah naik sepeda. Baginya, aktivitas tersebut bukan sekadar transportasi, tetapi juga menjadi sarana bermain dan bersosialisasi dengan teman. Dio dan teman-temannya sering berkelompok bak konvoi kecil mengelilingi kompleks.


Bocah yang kini menduduki bangku sekolah dasar kelas dua itu juga kerap kali balapan ringan untuk sekadar menambah suasana senang saat bermain.


“Aku mulai belajar sepeda dari umur lima tahun. Awalnya roda empat, terus nyoba roda tiga, dan sekarang sudah bisa roda dua,” tutur siswa SD ElFatih, Kota Serang itu.


Durasi bermain sepeda pun tidak sebentar. Dio bersama Vay(4) adiknya dan kelima temannya, kerap kali menghabiskan waktu 1 hingga 1,5 jam setiap hari untuk mengelilingi kompleks perumahan sejauh satu kilometer.


“Aku senang sekali kalau main sepeda bersama teman-teman, karena bisa sambil ngobrol dan tertawa bercanda, juga sambil balapan,” sambung Vay.


Bagi mereka, waktu bukanlah ukuran, tetapi kebahagiaan di masa kecil yang dapat mempererat tali persaudaraan antarkerabat.


Putri Lucita (37) secara sadar membentuk kebiasaan bersepeda sejak anak-anaknya masih kecil. Setiap pagi, Putri rutin mengajak anak-anaknya mengelilingi kompleks perumahan dengan sepeda. Ia menjadikan rutinitas itu sebagai pembuka hari sebelum sarapan.


Menurutnya, kegiatan fisik ringan di pagi hari sangat penting untuk memperkuat tulang, melatih motorik, dan membangun kebiasaan yang sehat sejak dini.


“Saya bandingin sendiri, anak yang aktif bersepeda atau sekadar berolahraga, itu jarang sakit. Mereka juga makannya jadi lebih lahap,” jelasnya.


“Dari kebiasaan itu, anak saya jadi gesit, aktif, dan lebih percaya diri terutama saat bersosialisasi. Bahkan orang satu kompleks jadi kenal sama mereka,” tutur Putri sambil tersenyum.


Ia juga menyadari tantangan yang datang dari zaman serbadigital yang bila tidak diarahkan dengan konsisten, anak-anak bisa terbiasa duduk diam di depan layar gawai atau TV sejak bangun tidur. Terlebih saat liburan panjang seperti sekarang  ketika waktu luang justru bisa menjadi jebakan.


“Kalau kita nggak ajak keluar, mereka bisa anteng seharian nonton atau main HP. Tapi karena sudah terbiasa, sekarang malah tiap pagi mereka yang nagih main sepeda duluan,” ujar ibu empat anak itu.


Kebiasaan sederhana ini ternyata punya kaitan erat dengan perkembangan mental anak. Oriza Sativa, seorang psikolog klinis, menyebut bahwa kebiasaan fisik seperti bermain dan berinteraksi nyata melatih kemampuan kognitif anak, termasuk daya pikir kritis, analitis, logis, hingga sistematis.


“Anak yang terbiasa bermain dan berpikir mandiri, dia akan mencari alternatif saat sedang kesulitan. Otaknya terbiasa mencari jalan keluar,” jelas Oriza.


“Tapi anak yang sudah terlalu dekat dengan gawai, biasanya tantrum, marah, akhirnya pasif, yang bila dibiarkan bisa berujung ke gangguan mental,” ungkap Oriza dalam siniar ANTARA Close Up.


Lebih lanjut, Oriza mengungkapkan tertawa saat bermain bukan sekadar ekspresi kesenangan, tapi juga cara alami tubuh menghasilkan hormon-hormon bahagia seperti endorphin, dopamine, oksitosin, dan serotonin.


“Main lari-larian aja itu udah olahraga. Olahraga bisa bikin bahagia. Anak yang aktif secara fisik, biasanya lebih tenang secara emosi,” tambahnya.


Karena itu, Putri merasa penting menjaga keseimbangan aktivitas anak. Baginya, keseimbangan bukan hanya soal menjaga tubuh di atas roda dua, tapi mencerminkan konsistensi dan dukungan yang dibangun dari rumah.


“Kuncinya cuma dua, konsistensi dan dukungan, yang kalau kedua hal itu dijaga, anak-anak pasti berkembang lebih baik secara fisik, mental, maupun sosial,” tutup Putri. (ANTARA/Nabila Anisya Charisty)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer